Tujuan Utama para Demografer
Memformulasikan Teori Transisi Demografi
Teori klasikal dari transisi demografi: perubahan
dari suatu situasi stabil, di mana pertumbuhan alami penduduk Nol atau sangat rendah,
ke situasi lainnya.
suatu perubahan spesifik dari pola reproduktifitas suatu penduduk yang
mengalami transformasi dari masyarakat yang tradisional menjadi masyarakat yang
modern. (John Caldwell, 1976; Ansley Coale, 1975; Michael
Teitelbaum, 1975)
Frank Notestein (1945, 1953):
mortalitas tinggi, fertilitas juga tetap tinggi karena
dukungan sosial & budaya (disebut ‘props’), seperti tradisi
perkawinan. Ketika mortalitas turun, props tidak perlu lagi. Masyarakat
industri perkotaan dan membaiknya pendidikan & kesehatan menghilangkan
props, dan kesempatan ekonomi bagi wanita juga berkembang. Masalah
dlm aplikasi teori klasik transisi demografi: Di Eropa, mortalitas turun secara
perlahan, dan terkait dg pembangunan sosial-ekonomi, sementara fertlitas tetap
tinggi. Di Negara-negara
berkembang, mortalitas & fertilitas turun secara pesat & saat yg hampir
sama, karena
kemajuan medis (imunisasi, antibiotik), perbaikan kontrasepsi dan intervensi
pemerintah.
Transformasi pertumbuhan yang lambat di capai
dengan kesuburan yang rendah dan pertumbuhan yang lambat dipertahankan dengan
kesuburan yang relatif tinggi serta mortalitas yang tinggi juga. Hal ini
bertentangan dengan pengertian transisi di awal, tingkat fertilitas (kesuburan)
di masyarakat pra-modern jauh dari target maksimum yang ingin di capai. Tingkat
kesuburan telah berkurang selama masa transisi penggunaan alat kontrasepsi
sebagai sarana untuk menghindari kelahiran tambahan. Tingkat fertilitas sangat
erat kaitannya dengan budaya, tradisi keagamaan. jika masyrakat telah berubah
dari tradisional menuju masyrakat yang modern maka tingkat fertilitas akan berangsur-angsur menurun. Modernisasi
yang cukup tampaknya akan membawa transisi ke kesuburan rendah (fertilitas
rendah) dan kematian.
Tujuan utama para demografer memformulasikan teori
transisi demografi adalah untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi di
suatu wilayah, dimana yang mula-mula tingkat pertumbuhannya nol
berangsur-angsur mengalami peningkatan. Hal ini juga dapat menggambarkan
bagaimana para orang tua menilai seorang anak, dengan adanya sebuah transisi
demografi di harapkan perkembangan suatu wilayah dapat berjalan dengan baik
serta kualitas seorang anak dapat berubah, yang pada awalnya anak dijadikan
sebagai nilai guna bagi orang tua berubah menjadi sebagai pengalihan biaya dari
orang tua kepada anak, menurut Caldwell (1992) mengatakan bahwa pengasuhan anak
pada keluarga lain merupakan pengalihan biaya dari orang tua ke orang lain,
sehingga akan menyebabkan produksi akan lebih besar dari konsumsi. Jika anak
sudah dipandang bukan sebagai barang tahan lama maka kebahagiaan dan
kesejahteraan suatu keluarga akan tercipta. Tahapan transisi demografi yang
sangat terkenal adalah tahapan transisi menurut Blacker (1947), dimana tahapan
transisi tersebut di bagi kedalam 5 tahapan.
5
Tahapan Transisi Demografi Menurut Blacker (1947)
Menurut
Blacker transisi demografi terbagi ke dalam 5 tahap yang berbeda di mana pada
setiap tahapan memiliki pola yang berbeda, khususnya pada tahap ke 2 dan tahap
ke 3 merupakan tahap transisi yang terjadi.
Tahap-tahap dalam
transisi demografi
1.
High stationary
Pada
tahap ini terjadi kestabilan yang tinggi antara tingkat Mortalitas dan tingkat
Fertilitas, sehingga pertumbuhan alami nol atau sangat rendah. Salah satu yang
menjadi penyebab tinggginya tingkat mortalitas adalah akibat adanya wabah
penyaki, perang, gagal panen yang menyebabkan terjadinya kelaparan di berbagai
daerah di dunia, sedangkan pada tingkat fertilitas yang menjadi faktor adalah
kurangnya ilmu pengetahuan yang di miliki pada saat itu sehingga teknologi
kesehatan masih sangat minim,dan hal ini mengakibatkan tingkat kelahiran
masyarakat yang tinggi. Selain itu pengaruh kebudayaan serta kepercayaan bahwa
banyak anak banyak rezeki. Contoh : Eropa abad ke-14
2.
Early expanding (tahap awal
perkembangan)
Pada
tahap awal perkembangan ini terjadi penurunan pada tingkat mortalitas, karena
pada abad ini di temukan antibiotik
oleh Alexander Fleming pada tahun 1928 (abad ke-19), yang merupakan
penemuan besar dalam teknologi kesehatan, yang menandakan adanya kemajuan dalam
bidang teknologi kesehatan. Serta adanya program Imunisasi, sehingga manusia
memiliki daya tahan tubuh terhadap wabah atau epidemi penyakit. Sementara itu
tingkat fertilitas masih tinggi, hal ini di pengaruhi oleh adanya budaya Pro
Natalis yaitu faham yang menekankan pada jumlah penduduk yang besar merupakan
potensi yang besar untuk menggali dan mengolah sumber-suber yang ada di alam.
Pertumbuhan alami pada tahap ini lambat, contoh : India sebelum perang dunia
II.
3.
Late expanding ( tahap akhir
perkembangan)
Pada
tahap 3 ini tingkat fertilitas menurun sedangkan tingkat mortalitas menurun
lebih cepat dari tingkat fertilitas, hal ini di sebabkan oleh adanya program
KB(keluarga berencana), penggunaan alat kontrasepsi serta meningkatnya
pendidikan wanita. Proses urbanisasi dan industrialisasi juga mempengaruhi
tingkat fertilitas penduduk pada masa ini. Pada tahap Late Expanding
pertumbuhan alami cukup cepat. Contoh : Australia, Selandia baru pada tahun
‘30an.
4.
Low Stationary
Pada
tahap ini tingkat mortalitas dan tingkat fertilitas rendah atau terjadi
stasioner rendah (stabil rendah), semakin meningkatnya kualitas kehidupan
menyebabkan pola pikir masyarakatnya berubah, yang pada awalnya masih menganut
budaya pro natalis pada masa ini sudah mulai berubah. Pertumbuhan alami nol
atau sangat rendah, cntoh : Perancis sebelum perang dunia II.
5.
Declining (tahap menurun)
Pada
tahap ini tingkat fertilitas terus mengalami penunrunan (rendah), akan tetapi
tingkat mortalitas mengalami peningkatan (lebih tinggi) dari tingkat
fertilitas. Mortalitas yang tinggi terjadi akibat adanya degenerative diseases
atau fenomena setres, yang di pengaruhi oleh life style(gaya hidup) masyarakat pada
masa itu. Sehingga tingkat kematian meningkat, contoh : Jerman Timur dan Jerman
Barat pada tahun ’75.
Tidak
selamanya tahapan demografi berjalan dengan lancar, tahapan demografi juga di
pengaruhi oleh karakteristik budaya, ekologi, sosial, ekonomi. Berikut kritik
terhadap aplikasi teori transisi demografi.
Ada
beberapa masalah yang dihadapi negara berkembang dalam pengaplikasian teori
transisi demografi. Jika di eropa penurunan tingkat mortalitas lebih di
pengaruhi oleh pembangunan sosial ekonomi, sedangkan penurunan mortalitas dan
fertilitas di negara berkembang lainnya lebih
di pengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti : peningkatan pemakaian
kontrasepsi, peningkatan perhatian pemerintah, modernisasi, pembangunan, dan
lain-lain. Pengaplikasian teori transisi demografi dapat digeneralisir untuk
kelompok masyarakat atau negara di dunia, meskipun ada sebagian negara yang
tidak dapat menerapkan transisi demografi ini secara menyeluruh. Penerapan
transisi kependudukan yang mencerminkan kenaikan taraf hidup rakyat di suatu
negara adalah besarnya tabungan dan akumulasi
kapital serta laju pertumbuhan penduduknya.
Laju
pertumbuhan penduduk yang sangat cepat di berbagai negara berkembang di
sebabkan oleh fase atau tahap transisi demografi yang dialaminya. Kebanyakan
negara-negara berkembang mengalami fase transisi demografi dimana angka
fertilitas masih tinggi sementara itu angka mortalitas telah menurun. Kedua hal
ini disebabkan karena kemajuan pelayanan kesehatan, sehingga angka kematian
balita menurun dan angka harapan hidupnya meningkat. Setiap negara akan
mengalami proses transisi, baik dalam bidang kesehatan, pendidikan maupun
teknologi. Sehingga hal ini akan sangat berpengaruh terhadap tingkat taraf
hidup masyarakat suatu negara.
Di
negara Cina pemerintah pernah memberlakukan sistem yang mengaharuskan
masyarakat di perkotaan hanya memiliki 1 orang anak, kecuali etnis Tibet. Hal
ini bertujuan untuk mengurangi tingkat fertilitas yang sangat tinggi yang
terjadi di Cina, akan tetapi hal ini menimbulkan suatu masalah baru karena
bertentangan dengan budaya yang ada di sana,di mana anak laki-laki memiliki
nilai ekonomi lebih daripada anak perempuan, jika anak pertama yang dilahirkan
perempuan, masyarakat akan cenderung berkeinginan untuk memiliki anak lagi
sampai akhirnya mendapatkan anak laki-laki, hal ini juga yang menjadi faktor
aborsi di cina cukup tinggi. Dicina banyak anak yang terlantar akibat orang
tuanya tidak menginginkan kelahirannya, sehingga banyak panti asuhan yatim
piatu di cina. Pemerintah cina pernah membuka adopsi anak internasional,akan
tetapi hanya sekitar 2% saja anak yang di adopsi. Kebanyakan laki-laki di cina
mencari pasangan hidup di negara lain,karena jumlah wanita di sana lebih
sedikit jika dibandingkan dnga jumlah laki-laki. Di daerah pedesaan marak
terjadi penculikan anak perempuan untuk di jual. Saat ini cina, Sri langka
berada pada fase ke 3 pada transisi demografi. Hal ini sangat berkaitan dengan
transisi demografi, bahwa sebuah kebudayaan, tradisi keagamaan sangat
berpengaruh terhadap proses terjadinya transisi demografi. Untuk negara-negara
berkembang lainnya yang tingkat sosial ekonominya rendah, tingkat mortalitas
dan fertilitas masih cenderung tinggi, hal ini karena akibat kelaparan, wabah
atau epidemi d wilayah tersebut. Selain itu fertilitas yang tinggi juga
dipengaruhi taraf hidup, misalnya negara-negara sub-sahara dan timur tengah berada
pada tahap II pada fase transisi demografi. Sedangkan negara yang mengalami
konflik, misalnya palestina saat ini tingkat fertilitasnya rendah dan tingkat
mortalitasnya tinggi, yakni menempati tahap ke 5 pada fase transisi demografi.
Transisi
Demografi di Indonesia
Pada
tahun 1930-1940 kondisi mortalitas dan fertilitas di Indonesia sangat tinggi,
tingginya angka kematian di Indonesia pada saat itu berkaitan dengan kondisi
sosial ekonomi yang kurang baik dan dalam masa peperangan merebut kemerdekaan.
Angka kematian di Indonesia mulai menurun sekitar tahun 1950-an, Indonesia
telah mengalami revolusi demografi yang pertama, yaitu revolusi kematian.
Sementara itu angka fertilitas terus mengalami peningkatan yang akibatnya
terjadi peledakan penduduk (population
explosion) khususnya penduduk muda. Revolusi kelahiran di Indonesia mulai
terjadi pada akhir 1970-an, dengan dijalankannya program pemerintah yaitu
program KB (Keluarga Berencana).
Pada
saat ini seiring dengan kemajuan teknologi baik dalam bidang kesehatan maupun
dalam bidang pendidikan tingkat fertilitas di Indonesia semakin menurun, serta
pola fikir masyarakat yang mulai berubah seiring berjalannya waktu. Semakin
majunya suatu perkotaan juga mempengaruhi tingkat fertilitas, jika semakin
meningkatnya angka partisipasi perempuan dalam dunia karir maka pemikiran untuk mempunyai banyak anak semakin
berkurang, serta penggunaan alat kontrasepsi yang sudah beragam yang dapat
menghambat bertambahnya kelahiran anak.
Pada
saat sekarang orangtua akan lebih mempertimbangkan sisi kualitas seperti
kesehatan dan pendidikan seorang anak, dengan beban tanggungan ekonomi yang
semakin besar para orang tua akan berfikir kembali untuk memiliki anak yang
banyak, di Indonesia tingkat fertilitas di daerah pedesaan lebih tinggi jika
dibandingkan dengan daerah perkotaan. Potensi transisi demografi di Indonesia
sanagat baik apabila dapat terlaksana dengan benar, jika tingkat fertilitas
terus menurun dan mortalitas juga menurun lebih cepat dari fertilitas hal ini
akan berdampak positif bagi pertumbuhan Indonesia serta pembangunan di negeri
ini, akan tetapi kesulitan yang di hadapi pemerintah untuk mencapai target yang
ideal sangatlah banyak, perlu usaha yang ekstra untuk mewujudkan impian
tersebut, pemahaman masyarakat akan pentingnyamelakukan penekanan terhadap
penurunan fertilitas masih kurang. Masih ada sebagian masyarakat Indonesia yang
menolak program pemerintah yaitu KB di karenakan beberapa alasan, baik terkait
dengan kebudayaan serta tradisi di wilayah tertentu. Indonesia merupakan negara
dengan jumlah penduduk yang banyak, yaitu menempati urutan ke 4 kepadatan
penduduk dunia.
Dibandingkan
dengan negara-negara yang sedang
berkembang lainnya, Indonesia
merupakan negara yang sedang membangun dengan masalah yang dihadapi adalah
masalah kependudukan yang sangat serius.
Jumlah penduduk yang sangat besar disertai pertumbuhan yang relatif
tinggi dan persebaran penduduk yang tidak merata, jumlah penduduk bukan hanya
merupakan modal, tetapi juga menjadi beban dalam pembangunan suatu negara.
Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang meningkat juga berkaitan dengan
kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat. Menurut Prof. Dr. Sri Moertiningsih
adioetomo Indonesia sedang mengalami masa keemasan atau bonus transisi
demografi saat ini, dimana masa keemasan yang di mulai tahun 2010 dan puncaknya
sekitar tahun 2020-2030, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS)
rasio ketergantungan Indonesia saat ini adalah 51,3% di mana rasio
ketergantungan untuk bonus transisi demografi adalah berkisar antara 40-50 %.
Yang berarti bahwa dari 100 orang yang berusia produktif harus menanggung 40-50
orang usia yang tidak produktif.
REFERENCES
Lucas, david and
Paul Meyer. 1994. Beginning Population Studies. 2rd Edition. The Australian
National University. Australia.
Modul Pengantar
Studi Kependudukan. Sekolah Tinggi Ilmu Statistik. Jakarta.
http://marwahnet-2.blogspot.com/2012/04/makalah-konsep-kependudukan-di.html ( di akses pada tanggal 30 maret
2013 )
http://search.fastaddressbar.com/web.php?s=faham+pronatalis&fid=65017&subid=64381 ( di akses pada tanggal 30 maret
2013 )
http://search.fastaddressbar.com/web.php?s=budaya+negara+cina&fid=65017&subid=64381 ( di akses pada tanggal 30 maret
2013 )